-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (1)

Monday, February 03, 2014 | February 03, 2014 WIB Last Updated 2014-02-03T13:02:08Z
Pesan Imlek dan Toleransi Sejati
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Opini Jurnal Nasional edisi 9 Februari 2013

Tingginya angka kekerasan agama (intoleransi) di Indonesia yang mencapai 274 kasus (The Wahid Institute), 371 kasus (Setara Institute) tahun 2012, tahun 2011 hanya 267 kasus (The Wahid Institute), 244 kasus (Setara Institute) adalah bukti ketidakberdayaan negara dalam penegakan hukum sekaligus menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warganya.

Menurut Romo Franz Magnis-Suseno, kekerasan dengan sentimen keagamaan ini salah satunya disebabkan oleh ketidaksiapan sebagian masyarakat dalam menerima perbedaan dan kemajemukan. Alih-alih menerima perbedaan, mereka cenderung berkehendak menindas, meniadakan, dan memberangus entitas kelompok (agama) lain yang berbeda.


Pesan Imlek

Imlek 2564, yang jatuh pada 10 Februari 2013, dapat memberikan sikap keberagamaan yang terbuka, ramah, toleran, inklusif, adil, dan pengakui perbedaan keyakinan (sekte, mazhab, aliran) bagi tumbuh dan berkembangnya kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Salah satu pelajaran berharga yang bisa kita petik dengan adanya pergantian Tahun Baru China ini adalah kelenteng. Dari tempat ibadat ini terpancar sikap keterbukaan, toleransi, dan keberagaman.

Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) melekat pada tempat peribadatan Tionghoa sekaligus upaya memelihara, menjungjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kong Zi. Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Buddha, Tao, atau Konghucu, keturunan Kong Zi harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan kebijaksanaan.

Peringatan hari lahir Guru Agung ini mempunyai makna yang teramat dalam. Tentu, peringatan ini bukan sekadar untuk bersenang-senang, melainkan sebagai ungkapan terima kasih yang telah mengajarkan setiap insan agar selalu belajar dan berkarya di muka bumi, memperkuat persaudaraan yang menyatukan, bukan untuk bercerai berai; pelajaran yang amat mendalam tentang perlunya menjaga hubungan antarsesama manusia untuk membangun keimanan pada Thian--Tuhan Yang Maha Esa.

Fakta, kita adalah "rakyat" Tuhan Yang Maha Esa, yang disatukan dalam persaudaraan abadi sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu Tanah Air: Indonesia, dan satu persaudaraan kekal sebagai warga dunia. (Majalah Majelis Agama Khonghucu Indonesia Bandung, Perayaan Hari Lahir Nabi Kong Zi ke 2561 se-Jawa Barat, 2010:5)

Umat Rujiao (Khonghucu) yakin, usaha menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang seimbang, harmonis, sejahtera, dan adil perlu berawal dari diri sendiri dan keluarga untuk mencapai Susilawan. Seseorang Susilawan memuliakan tiga hal: "Firman Thian, orang-orang besar (para suci), dan sabda para Nabi," (Lun Gi XVI: 8).

Manusia Susilawan adalah insan yang bebas dari perilaku korup dan memalukan. Ia rendah hati, tetapi tidak rendah diri. Ini ditauladani oleh Konfusius ketika ada orang merasa heran tentang keberhasilannya mengetahui segala sesuatu di tiap negeri yang dikunjunginya. Seorang muridnya menjelaskan, "Guru mendapatkan itu karena sikapnya yang ramah-tamah, baik hati, hormat, sederhana, dan suka mengalah," (Lun Gi I:10).

Dalam konsep keluarga Konghucu, sebagaimana dalam ajaran Konfusiunisme, HC Creel beragumentasi: salah satu sendi Konfusianisme adalah hubungan ayah-anak, kakak-adik, suami-istri, muda-tua, raja-menteri dan tiga dari hubungan itu secara khusus berada di dalam keluarga. Konghucu mendorong kita melaksanakan bakti pada orang tua (Hauw) dan ajaran bakti pada orang tua dikembangkan oleh Bingcu, seorang murid Konghucu. (Leo Suryadinata, 1988:53)

Saling Menghormati

Pentingnya saling menghormati ini dicita-citakan Tian Zhi Mu Duo Kong Zi semasa hidupnya, yaitu menghormati generasi tua, membina generasi muda dengan kasih sayang, dan bisa dipercaya oleh kawan dan sahabat. Ia mengakui, tidak mudah menerapkan cita-cita sederhana ini. Namun, bila bisa dijalankan akan membentuk perdamaian dan keharmonisan di dunia. (Majalah Suara Baru, edisi 19/IV/Januari-Februari 2008:37)


Marilah kita ciptakan sebanyak mungkin kader dan pemimpin yang tangguh dan jadikan mereka penerima tongkat estafet dalam menunaikan tugas suci sejarah, memimpin dan melaksanakan perjuangan membangun Indonesia baru dan masyarakat yang adil dan makmur. (Suara Baru, edisi 13/III/Januari 2007:55)


Toleransi yang hanya didasarkan pada kesediaan menenggang pada kehadiran pihak lain adalah toleransi semu, karena toleransi sejati adalah toleransi yang mencakup kesediaan mengakui validitas pihak lain, setidaknya elemen kebenaran dari pihak lain. Seorang rohaniwan sejati harus bebas menerima kebenaran yang terdapat dalam pihak lain dan juga mungkin menolak sudut pandang yang keliru dalam ajaran yang dihayati oleh diri sendiri, setidaknya sebagai pribadi.

Confusius mengatakan, manusialah yang harus mengembangkan agama, bukan sebaliknya. Maksudnya, manusia diberi tanggung jawab untuk turut merumuskan panduan menuju ketertiban pribadi dan masyarakat. Karena Tuhan telah memberikan kebenaran yang telah tertanam pada fitrah manusia, aktualisasinya menjadi tugas kita sebagai manusia.

Setiap orang mendapatkan kodrat kebaikan yang menjadi mandat dari Tuhan. Karena zaman terus berkembang, maka cara manusia dalam merespons perkembangan dunia harus disesuaikan dari waktu ke waktu. Intinya, setiap individu dipanggil untuk menjadi manusia yang berhati nurani dan bertindak akali. Dengan begitu, agama dipandang menjadi faktor yang dinamis, bukan statis. (Kristan, Conf. Sc, 2010:124-125)

Kiranya, sabda Confusius tentang kedamaian perlu kita renungkan bersama-sama, sebagaimana termaktub dalam Kitab Su Si, Ajaran Besar Bab X:1: "Yang dikatakan damai di dunia ini berpangkal pada teraturnya negara, yakni: Bila para pemimpin dapat hormat kepada yang lanjut usia, niscaya rakyat membangun rasa baktinya; Bila para pemimpin dapat berendah diri kepada atasannya, niscaya rakyat membangun rasa rendah hatinya; Bila para pemimpin berlaku kasih dan memperhatikan anak yatim piatu, niscaya rakyat tidak mau ketinggalan. Itulah sebabnya, seorang Jun Zi mempunyai Jalan Suci."

Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, adil, tolelan, harmonis, terbuka, jujur, menjadi cita-cita bersama dalam membangun kerukunan antarumat beragama, dan antaretnis. Inilah makna terdalam Imlek, yakni menciptakan persaudaraan sejati. Selamat Imlek 2564. Gong Xi Fa Cai.

Ibn Ghifarie,  Alumni Pascasarjana UIN SGD Bandung Program Religious Studies.
×
Berita Terbaru Update